Minggu, 20 Mei 2012

Hipotesis : Antara Ilmu Sosial dan Eksakta


Misalnya ada seorang bertanya kepada anda, “Nilai t-hitung yang saya dapatkan adalah 4,00. Apakah hipotesis penelitian saya diterima?” Yang berlatar belakang ilmu sosial mengasumsikan bahwa hipotesis yang dimaksud penanya adalah hipotesis alternatif (Ha/H1). Sebaliknya, yang berlatar belakang ilmu eksak (matematika/statistika) mengasumsikan hipotesis peneliti adalah Hipotesis nihil (H0). Manakah yang tepat? Anda pasti tahu jawabnya. Ahli statistik sangat memahami statistik beserta filosofinya, jadi asumsi merekalah yang tepat. Hipotesis yang diajukan peneliti adalah H0. Namun demikian asumsi dari pihak ilmu sosial juga tidak salah-salah amat. Penjelasan berikut ini semoga bisa menjembatani dilema ini. File PDF Bisa diunduh di sini

Alur Perumusan Hipotesis

    Hipotesis penelitian sering terlahir dari sebuah alur logika peneliti yang didukung oleh teori. Dalam laporan atau publikasi penelitian, sebelum hipotesis dirumuskan, peneliti mengawali dengan penjelasan keterkaitan antara variabel yang diteliti secara teoritik. Misalnya peneliti hendak menguji pengaruh asupan gizi (X) terhadap kecerdasan individu (Y). Peneliti menjelaskan benang merah keterkaitan kedua variabel tersebut, misalnya asupan gizi akan meningkatkan kinerja metabolisme tubuh sehingga membuat aktivitas di otak dapat bekerja dengan baik. Penjelasan tersebut kemudian diakhiri dengan ‘keberanian’ peneliti untuk mengajukan praduga (hipotesis). Misalnya “Asupan gizi mempengaruhi tingkat kecerdasan individu”.
    Secara teknis, redaksional kalimat hipotesis tersebut adalah hipotesis alternatif (Ha). Seakan-akan dalam proses uji statistik selanjutnya, hipotesis inilah yang diuji oleh peneliti. Teman-teman statistika kemudian protes, “Statistika tidak menguji Ha akan tetapi H0”. Teman-teman dari ilmu sosial juga tak mau kalah, “Kami sudah capek-capek mencari dukungan teori untuk merumuskan bahwa X mempengaruhi Y, kenapa hipotesis yang kami ajukan justru X tidak mempengaruhi Y (H0)?
    Seorang provokator muncul, “Kalau hipotesis yang diajukan dalam penelitian adalah hipotesis nihil, ya sudah teliti saja semua hal yang tidak memiliki keterkaitan”.Contohnya apa Kang?”, tanya Bejo. “Daripada nguji pengaruh gizi terhadap kecerdasan, lebih baik menguji pengaruh nasib terhadap tingkat kecerdasan sekalian“ tandas provokator sambil emosi, “Bukankah itu yang mereka mau? Nguji hipotesis kosongan”. Kok jadi si provokator yang emosi sendiri?

Tawaran Solusi

    Almarhum Prof. Sutrisno Hadi telah menyadari dilema ini. Beliau kemudian memperkenalkan dua terminologi hipotesis, hipotesis penelitian dan hipotesis kerja. Hipotesis penelitian adalah hipotesis yang diajukan oleh peneliti yang didasari oleh teori-teori pendukung, sebaliknya hipotesis kerja adalah hipotesis dalam konteks uji statistika.
    Hipotesis penelitian seringkali berupa hipotesis alternatif (Ha) karena teori yang dipakai peneliti menunjukkan bahwa dua variabel yang diuji memiliki keterkaitan. Hipotesis kerja adalah hipotesis nihil (H0) yang diuji dalam proses uji statistik. Semoga tawaran ini menengahi dilema ini. Jadi ketika peneliti ilmu sosial mengatakan “hipotesis saya….” pernyataan ini lebih merujuk pada hipotesis penelitian, bukan hipotesis kerja.

Hipotesis dalam Pengujian Statistik

    Ada dua jenis hipotesis yang diuji dalam statistik, yaitu uji hipotesis nihil (H0) dan hipotesis alternatif (H1). Hipotesis nihil menjelaskan bahwa variabel yang diuji tidak memiliki hubungan, perbedaan atau pengaruh. Sebaliknya, hipotesis alternatif menjelaskan adanya hubungan, perbedaan atau pengaruh pada variabel yang diuji.
    Dulu ketika mengaji di pesantren, saya ingat kyai saya menjelaskan prinsip Umar bin Khatab ketika menjadi hakim. Bagi Umar, lebih baik salah mengambil keputusan (membebaskan) pencuri daripada salah memutuskan (menghukum) yang bukan pencuri, karena dengan menghukum yang bukan pencuri berarti kita telah mendzalimi orang tersebut. Dengan bahasa saya, lebih baik kita dikatakan gegabah daripada kita mendzalimi (lihat gambar).

Tipe Kesalahan
Pengambilan Keputusan
Kenyataan
Bukan Pencuri
Pencuri
Vonis Hakim
Menghukum
Mendzalimi
-
Membebaskan
-
Gegabah

Nampaknya prinsip ini juga dipakai dalam bidang hukum dengan adanya asa praduga tak bersalah. Nah, statistika juga mengadopsi hal ini, saya namakan asas praduga tidak berhubungan (sekedar joke). Kasarannya, dalam melakukan uji, statistik memiliki dugaan awal bahwa antar variabel uji tidak memiliki hubungan (H0). Ini seperti halnya ketika kita memiliki dugaan awal bahwa yang kita hadapi adalah bukan pencuri. Langkah selanjutnya adalah menakar resiko yang kita dapatkan jika kita menolak dugaan tersebut. Ketika resiko itu kecil, maka kita berani menolak dugaan itu.
Gambar di bawah ini menunjukkan peta kesalahan (error) dalam pengambilan keputusan statistik. Fokus kita dalam menjawab hipotesis adalah apakah H0 benar dan bukan apakah Ha benar.

Tipe Kesalahan
Pengambilan Keputusan
Kenyataan
H0 Benar
H0 Salah
Vonis Hakim
Menolak H0
Eror Tipe I
(a)
Kekuatan Uji
(1- β)
Menerima H0
Taraf Kepercayaan
(1-a)
Eror Tipe II
(β)

Kesalahan pengambilan keputusan dihitung melalui pendekatan probabilitas yang disebut alpha (a) dan beta (β). Eror Tipe I adalah kesalahan menolak hipotesis nihil (H0), padahal H0 itu benar. Nilai alpha menunjukkan peluang untuk menolak H0 padahal H0 itu benar. Eror Tipe II adalah kesalahan yang mungkin terjadi karena menerima H0  padahal H0 itu salah. Nilai peluang kesalahan tersebut disimbolkan oleh beta.
Biasanya, batas nilai alpha yang dipakai untuk menolak H0 adalah alpha=0,05 atau 5%. Nama lainnya adalah tingkat kesalahan/resiko sebesar 5% atau taraf signifikansi 5%. Kebalikannya adalah tingkat kepercayaan sebesar 95% (didapatkan dari 1-a). Jadi ketika misalnya kita mendapatkan nilai korelasi XY sebesar 0,8 dengan p<0,05, artinya kita memiliki peluang yang kecil (<5%) untuk salah dalam memutuskan bahwa X dan Y tidak berkorelasi. Jadi, H0 kita tolak. Karena H0 kita tolak, kita lalu menerima Ha dan akhirnya kita simpulkan XY berkorelasi.
Bagaimana dengan nilai beta apa gunanya? Sama dengan nilai alpha, karena sama-sama menunjukkan tingkat kesalahan, nilai beta juga kita usahakan kecil. Nilai alpha dan beta pada satu sisi bisa berlawanan, kadang ketika memperkecil alpha maka secara otomatis beta akan meningkat. Diskusi mengenai kedua ini bisa di baca di tulisan Mas Agung (Santoso, 2007). Yang ingin saya tekankan di sini adalah jika 1-a menunjukkan tingkat kepercayaan keputusan yang kita ambil, maka 1-ββ menunjukkan kekuatan keputusan (power of the test).
Kekuatan statistik inilah yang sering kita lupakan. Kekuatan ini dapat kita tingkatkan dengan menambahkan sampel dan mendapatkan dukungan teori yang kuat dalam merumuskan hipotesis. Sering saya mendapatkan pertanyaan, “Mas Wy apakah sampel saya (N=20) cukup untuk menggunakan uji parametrik (uji-t)?” Pertanyaan ini sulit dijawab, saya hanya bisa menjawab jika kekuatan uji yang dihasilkan lebih 80% maka ukuran sampel tersebut sudah cukup. Selengkapnya mengenai uji kekuatan statistik bisa di baca di Widhiarso (2012).

Masalah Signifikansi

    Selain pengujian hipotesis, masalah yang sering muncul dalam pengujian statistik adalah signifikansi hasil uji. Dalam penelitian ilmu sosial kita sering mendengar kata ‘kurang signifikan’ dan ‘sangat signifikan’. Kadang kita menjumpai peneliti yang mengatakan bahwa dari hasil uji hipotesis pertama mereka adalah signifikan, karena SPSS mengeluarkan p=0,02 (p<0,05). Di sisi lain, pada uji hipotesis kedua, mereka mengatakannya “sangat signifikan” karena SPSS mengeluarkan p=0,001 (p<0,01).
    Istilah tersebut kurang tepat, karena hanya ada dua keputusan dalam statistik, menerima atau menolak H0. Kenapa demikian? Karena sebelum H0 diuji, peneliti harus memutuskan terlebih dahulu taraf signifikansi yang dipakai untuk menolak atau menerima H0. Misalnya kita tetapkan taraf signifikansi yang kita pakai adalah 5%. Meski komputer menghasilkan nilai p=0,001, kita tetap mengatakannya signifikan. Demikian juga misalnya kita tetapkan bahwa taraf signifikansi uji statistik yang kita lakukan adalah 10%, nilai p hasil uji sebesar p=0,08 tetap kita katakan signifikan. Diskusi mengenai hal ini secara lebih lengkap dapat dibaca pada artikel Pak Azwar (2010). Artikel yang bahasannya lebih ‘berat’ yang membahas masalah signifikansi juga bisa dilihat di Uliansyah (2011).

Penutup

Tulisan ini bertujuan mengungkap beberapa salah kaprah dalam penggunaan uji statistik yang banyak terjadi dalam bidang ilmu sosial. Kadang kita dari ilmu sosial seringkali berkreasi dan melakukan simplifikasi, padahal hal tersebut salah. Semoga bermanfaat.

Jena, 2012

Referensi

Azwar, S. (2010). Signifikan atau Tidak Signifikan? Paper tidak dipublikasikan. Yogyakarta. Fakultas Psikologi UGM
Santoso, A. (2007). Uji Asumsi 1 Revised : Isu Seputar Uji Normalitas. http://agungsan.multiply.com/journal/item/6/Uji_Asumsi_1_Revised_Isu_Seputar_Uji_Normalitas?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem. Diakses pada tanggal 20 Mei 2012 Pukul 15.20.
Uliansyah (2011). Kesalahan Memahami Signifikansi Statistik. Diakses dari http://www.uliansyah.or.id/2011/11/kesalahan-memahami-signifikansi-statistik.html. pada tanggal 20 Mei 2012 Pukul 16.22.
Widhiarso, W. (2012). Power dalam Uji Statistik. Diakses dari http://wahyupsy.blog.ugm.ac.id/2012/04/19/power-dalam-uji-statistik/ pada tanggal 20 Mei 2012 Pukul 15.30.

Tidak ada komentar:

Kuliah ATBK - Pengantar CAT