Misalnya
ada seorang bertanya kepada anda, “Nilai
t-hitung yang saya dapatkan adalah 4,00. Apakah hipotesis penelitian saya
diterima?” Yang berlatar belakang ilmu sosial mengasumsikan bahwa hipotesis
yang dimaksud penanya adalah hipotesis alternatif (Ha/H1). Sebaliknya, yang
berlatar belakang ilmu eksak (matematika/statistika) mengasumsikan hipotesis
peneliti adalah Hipotesis nihil (H0). Manakah yang tepat? Anda pasti tahu
jawabnya. Ahli statistik sangat memahami statistik beserta filosofinya, jadi
asumsi merekalah yang tepat. Hipotesis yang diajukan peneliti adalah H0. Namun
demikian asumsi dari pihak ilmu sosial juga tidak salah-salah amat. Penjelasan
berikut ini semoga bisa menjembatani dilema ini. File PDF Bisa diunduh di sini
Alur Perumusan Hipotesis
Hipotesis penelitian sering terlahir dari
sebuah alur logika peneliti yang didukung oleh teori. Dalam laporan atau publikasi
penelitian, sebelum hipotesis dirumuskan, peneliti mengawali dengan penjelasan keterkaitan
antara variabel yang diteliti secara teoritik. Misalnya peneliti hendak menguji
pengaruh asupan gizi (X) terhadap kecerdasan individu (Y). Peneliti menjelaskan
benang merah keterkaitan kedua variabel tersebut, misalnya asupan gizi akan
meningkatkan kinerja metabolisme tubuh sehingga membuat aktivitas di otak dapat
bekerja dengan baik. Penjelasan tersebut kemudian diakhiri dengan ‘keberanian’
peneliti untuk mengajukan praduga (hipotesis). Misalnya “Asupan gizi mempengaruhi tingkat kecerdasan individu”.
Secara teknis, redaksional kalimat hipotesis
tersebut adalah hipotesis alternatif (Ha). Seakan-akan dalam proses uji
statistik selanjutnya, hipotesis inilah yang diuji oleh peneliti. Teman-teman
statistika kemudian protes, “Statistika
tidak menguji Ha akan tetapi H0”. Teman-teman dari ilmu sosial juga tak mau
kalah, “Kami sudah capek-capek mencari
dukungan teori untuk merumuskan bahwa X mempengaruhi Y, kenapa hipotesis yang
kami ajukan justru X tidak mempengaruhi Y (H0)?
Seorang provokator muncul, “Kalau hipotesis yang diajukan dalam
penelitian adalah hipotesis nihil, ya sudah teliti saja semua hal yang tidak
memiliki keterkaitan”. “Contohnya apa
Kang?”, tanya Bejo. “Daripada nguji
pengaruh gizi terhadap kecerdasan, lebih baik menguji pengaruh nasib terhadap
tingkat kecerdasan sekalian“ tandas provokator sambil emosi, “Bukankah itu yang mereka mau? Nguji
hipotesis kosongan”. Kok jadi si provokator yang emosi sendiri?
Tawaran Solusi
Almarhum Prof. Sutrisno Hadi telah menyadari
dilema ini. Beliau kemudian memperkenalkan dua terminologi hipotesis, hipotesis
penelitian dan hipotesis kerja. Hipotesis penelitian adalah hipotesis yang
diajukan oleh peneliti yang didasari oleh teori-teori pendukung, sebaliknya
hipotesis kerja adalah hipotesis dalam konteks uji statistika.
Hipotesis penelitian seringkali berupa
hipotesis alternatif (Ha) karena teori yang dipakai peneliti menunjukkan bahwa
dua variabel yang diuji memiliki keterkaitan. Hipotesis kerja adalah hipotesis
nihil (H0) yang diuji dalam proses uji statistik. Semoga tawaran ini menengahi
dilema ini. Jadi ketika peneliti ilmu sosial mengatakan “hipotesis saya….” pernyataan ini lebih merujuk pada hipotesis
penelitian, bukan hipotesis kerja.
Hipotesis dalam Pengujian Statistik
Ada dua jenis hipotesis yang diuji dalam
statistik, yaitu uji hipotesis nihil (H0) dan hipotesis alternatif (H1).
Hipotesis nihil menjelaskan bahwa variabel yang diuji tidak memiliki hubungan,
perbedaan atau pengaruh. Sebaliknya, hipotesis alternatif menjelaskan adanya
hubungan, perbedaan atau pengaruh pada variabel yang diuji.
Dulu ketika mengaji di pesantren, saya ingat
kyai saya menjelaskan prinsip Umar bin Khatab ketika menjadi hakim. Bagi Umar,
lebih baik salah mengambil keputusan (membebaskan) pencuri daripada salah
memutuskan (menghukum) yang bukan pencuri, karena dengan menghukum yang bukan
pencuri berarti kita telah mendzalimi orang tersebut. Dengan bahasa saya, lebih
baik kita dikatakan gegabah daripada kita mendzalimi (lihat gambar).
Tipe Kesalahan
Pengambilan Keputusan
|
Kenyataan
|
||
Bukan Pencuri
|
Pencuri
|
||
Vonis Hakim
|
Menghukum
|
Mendzalimi
|
-
|
Membebaskan
|
-
|
Gegabah
|
Nampaknya
prinsip ini juga dipakai dalam bidang hukum dengan adanya asa praduga tak bersalah. Nah, statistika
juga mengadopsi hal ini, saya namakan asas praduga
tidak berhubungan (sekedar joke). Kasarannya, dalam melakukan uji,
statistik memiliki dugaan awal bahwa antar variabel uji tidak memiliki hubungan
(H0). Ini seperti halnya ketika kita memiliki dugaan awal bahwa yang kita
hadapi adalah bukan pencuri. Langkah selanjutnya adalah menakar resiko yang
kita dapatkan jika kita menolak dugaan tersebut. Ketika resiko itu kecil, maka
kita berani menolak dugaan itu.
Gambar
di bawah ini menunjukkan peta kesalahan (error)
dalam pengambilan keputusan statistik. Fokus kita dalam menjawab hipotesis
adalah apakah H0 benar dan bukan apakah Ha benar.
Tipe Kesalahan
Pengambilan Keputusan
|
Kenyataan
|
||
H0 Benar
|
H0 Salah
|
||
Vonis Hakim
|
Menolak H0
|
Eror Tipe I
(a)
|
Kekuatan Uji
(1- β)
|
Menerima H0
|
Taraf Kepercayaan
(1-a)
|
Eror Tipe II
(β)
|
Kesalahan
pengambilan keputusan dihitung melalui pendekatan probabilitas yang disebut
alpha (a) dan
beta (β). Eror Tipe I adalah kesalahan
menolak hipotesis nihil (H0), padahal H0 itu benar. Nilai alpha menunjukkan peluang
untuk menolak H0 padahal H0 itu benar. Eror Tipe II adalah kesalahan yang
mungkin terjadi karena menerima H0
padahal H0 itu salah. Nilai peluang kesalahan tersebut disimbolkan oleh beta.
Biasanya,
batas nilai alpha yang dipakai untuk menolak H0 adalah alpha=0,05 atau 5%. Nama
lainnya adalah tingkat kesalahan/resiko sebesar 5% atau taraf signifikansi 5%.
Kebalikannya adalah tingkat kepercayaan sebesar 95% (didapatkan dari 1-a). Jadi ketika misalnya kita
mendapatkan nilai korelasi XY sebesar 0,8 dengan p<0,05, artinya kita
memiliki peluang yang kecil (<5%) untuk salah dalam memutuskan bahwa X dan Y
tidak berkorelasi. Jadi, H0 kita tolak. Karena H0 kita tolak, kita lalu
menerima Ha dan akhirnya kita simpulkan XY berkorelasi.
Bagaimana
dengan nilai beta apa gunanya? Sama
dengan nilai alpha, karena sama-sama menunjukkan tingkat kesalahan, nilai beta
juga kita usahakan kecil. Nilai alpha dan beta pada satu sisi bisa berlawanan,
kadang ketika memperkecil alpha maka secara otomatis beta akan meningkat.
Diskusi mengenai kedua ini bisa di baca di tulisan Mas Agung (Santoso, 2007).
Yang ingin saya tekankan di sini adalah jika 1-a menunjukkan tingkat kepercayaan
keputusan yang kita ambil, maka 1-ββ
menunjukkan kekuatan keputusan (power of
the test).
Kekuatan
statistik inilah yang sering kita lupakan. Kekuatan ini dapat kita tingkatkan
dengan menambahkan sampel dan mendapatkan dukungan teori yang kuat dalam
merumuskan hipotesis. Sering saya mendapatkan pertanyaan, “Mas Wy apakah sampel saya (N=20) cukup untuk menggunakan uji parametrik
(uji-t)?” Pertanyaan ini sulit dijawab, saya hanya bisa menjawab jika
kekuatan uji yang dihasilkan lebih 80% maka ukuran sampel tersebut sudah cukup.
Selengkapnya mengenai uji kekuatan statistik bisa di baca di Widhiarso (2012).
Masalah Signifikansi
Selain pengujian hipotesis, masalah yang
sering muncul dalam pengujian statistik adalah signifikansi hasil uji. Dalam
penelitian ilmu sosial kita sering mendengar kata ‘kurang signifikan’ dan ‘sangat signifikan’. Kadang kita
menjumpai peneliti yang mengatakan bahwa dari hasil uji hipotesis pertama
mereka adalah signifikan, karena SPSS mengeluarkan p=0,02 (p<0,05). Di sisi
lain, pada uji hipotesis kedua, mereka mengatakannya “sangat signifikan” karena SPSS mengeluarkan p=0,001 (p<0,01).
Istilah tersebut kurang tepat, karena hanya
ada dua keputusan dalam statistik, menerima atau menolak H0. Kenapa demikian?
Karena sebelum H0 diuji, peneliti harus memutuskan terlebih dahulu taraf
signifikansi yang dipakai untuk menolak atau menerima H0. Misalnya kita
tetapkan taraf signifikansi yang kita pakai adalah 5%. Meski komputer
menghasilkan nilai p=0,001, kita tetap mengatakannya signifikan. Demikian juga
misalnya kita tetapkan bahwa taraf signifikansi uji statistik yang kita lakukan
adalah 10%, nilai p hasil uji sebesar p=0,08 tetap kita katakan signifikan.
Diskusi mengenai hal ini secara lebih lengkap dapat dibaca pada artikel Pak
Azwar (2010). Artikel yang bahasannya lebih ‘berat’ yang membahas masalah signifikansi
juga bisa dilihat di Uliansyah (2011).
Penutup
Tulisan
ini bertujuan mengungkap beberapa salah kaprah dalam penggunaan uji statistik yang
banyak terjadi dalam bidang ilmu sosial. Kadang kita dari ilmu sosial seringkali
berkreasi dan melakukan simplifikasi, padahal hal tersebut salah. Semoga bermanfaat.
Jena,
2012
Referensi
Azwar, S. (2010). Signifikan atau Tidak Signifikan? Paper tidak dipublikasikan. Yogyakarta.
Fakultas Psikologi UGM
Santoso, A. (2007). Uji Asumsi 1 Revised :
Isu Seputar Uji Normalitas. http://agungsan.multiply.com/journal/item/6/Uji_Asumsi_1_Revised_Isu_Seputar_Uji_Normalitas?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem.
Diakses pada tanggal 20 Mei 2012 Pukul 15.20.
Uliansyah (2011). Kesalahan Memahami Signifikansi
Statistik. Diakses dari http://www.uliansyah.or.id/2011/11/kesalahan-memahami-signifikansi-statistik.html.
pada tanggal 20 Mei 2012 Pukul 16.22.
Widhiarso,
W. (2012). Power dalam Uji Statistik. Diakses dari http://wahyupsy.blog.ugm.ac.id/2012/04/19/power-dalam-uji-statistik/
pada tanggal 20 Mei 2012 Pukul 15.30.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar