Rabu, 11 April 2012

Aplikasi Uji Keberfungsian Butir Diferensial (DIF) Melalui Teknik Mantel Haenszel pada Program SPSS


Aplikasi Uji Keberfungsian Butir Diferensial (DIF) Melalui Teknik Mantel Haenszel pada Program SPSS

Wahyu Widhiarso
Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada
(2012)

Salah satu butir pada tes inteligensi (WAIS) di dalamnya terdapat butir soal yang meminta individu untuk menafsirkan gambar sebuah rumah yang di atasnya terdapat salju. Butir ini oleh banyak ahli dikatakan butir yang bias secara budaya, karena orang yang tinggal di lokasi dekat garis katulistiwa tidak pernah berinteraksi dengan salju. Butir ini dapat dikatakan memihak individu yang sering berinteraksi dengan salju. Dua individu yang memiliki tingkat inteligensi yang setara bisa saja memiliki skor butir yang berbeda. Mereka yang pernah berinteraksi dengan salju relatif diuntungkan. Oleh karena itu peluang untuk mendapatkan jawaban benar pada butir ini lebih tinggi dibanding dengan mereka yang tidak pernah berinteraksi dengan salju. Butir ini bias, karena memihak pada mereka yang tinggal jauh dari garis katulistiwa.
Contoh lain, bias jender juga terjadi pada pengukuran depresi. Widhiarso dan Retnowati (2011) menemukan bahwa pada pengukuran depresi, butir yang mengukur perilaku menangis ternyata memihak perempuan. Dengan tingkat depresi yang sama, perempuan lebih cenderung mendapatkan skor yang rendah dibanding laki-laki. Kita tahu “boys don’t cry”, laki-laki tidak boleh menangis. Pandangan masyarakat mengenai laki-laki yang seharusnya ditunjukkan dengan perilaku pantang menyerah mempengaruhi respons mereka terhadap alat ukur. Sementara itu Dewi (2010) menemukan bahwa pada pengukuran dukungan sosial, butir “Guru memberi nasehat berguna” termasuk butir bias jender yang memihak perempuan. Dengan tingkat dukungan sosial yang setara, perempuan lebih sering mendapatkan nasehat dari guru daripada laki-laki.

A. Keberfungsian Butir Diferensial

Butir yang bias dalam mengukur dinamakan dengan butir yang terjangkit keberfungsian butir diferensial yang diterjemahkan dari differential item functioning (DIF). DIF adalah situasi ketika dua subjek yang memiliki trait psikologis yang setara akan tetapi memiliki kecenderungan yang berbeda dalam merespon sebuah butir (Camilli & Shepard, 1994). Peluang yang berbeda ini menunjukkan bahwa butir yang terjangkit DIF berpihak pada subjek tertentu. Butir tersebut memberikan peluang besar pada satu subjek untuk mendapatkan skor tinggi, tetapi sebaliknya untuk subjek yang lain. Diskusi mengenai butir yang terjangkit DIF telah diangkat dalam penyusun pengukuran, misalnya bagaimana mengembangkan tes yang tidak bias budaya (culture fair). Butir tes yang bias budaya secara psikometris berpotensi terjangkit DIF karena butir tersebut memudahkan subjek dari budaya tertentu untuk mendapatkan skor tinggi dan justru merugikan subjek dari budaya lainnya.
Ada dua jenis DIF, yaitu DIF tingkat kesulitan (uniform DIF) dan DIF daya beda (nonuniform DIF). DIF tingkat kesulitan menunjukkan bahwa butir memiliki tingkat kesulitan yang berbeda jika diterapkan pada dua karakteristik yang berbeda. Butir bias jender pada pengukuran depresi di muka mewakili DIF jenis ini. DIF daya beda menunjukkan daya beda butir akan berbeda jika diterapkan pada dua karakteristik yang berbeda. Widhiarso dan Retnowati (2011) mencontohkan bahwa butir yang mengukur perasaan ketidakmampuan dalam pengukuran depresi terjangkit DIF jenis kedua. Melalui perasaan ketidakmampuan, kita dapat membedakan apakah laki-laki memiliki level depresi yang tinggi ataukah rendah. Sebaliknya pada perempuan perasaan ketidakmampuan belum tentu memanifestasikan level depresi mereka. Tulisan ini hanya akan membatasi pada uji DIF jenis pertama.

B. Aplikasi Analisis

Banyak sekali tes yang dikembangkan oleh para ahli dalam menguji DIF. Salah satunya adalah Teknik Mantel-Haenszel yang dapat diaplikasikan melalui program SPSS. Kali ini kita akan menguji apakah 10 butir di dalam Skala Harga Diri Rosenberg terjangkit DIF.


Gambar 1. Persiapan Data

1. Persiapan Data
Siapkan data seperti biasanya, kolom berisi informasi variabel dan baris menjelaskan informasi tersebut pada tiap individu (lihat Gambar 1). Data ini didapatkan dari penelitian Retnowati (2004) yang meneliti remaja di Yogyakarta. Data harga diri sebelumnya merupakan data kontinum yang bergerak dari skor 0 hingga 4. Namun untuk keperluan analisis ini data kita kode ulang sehingga menjadi data dikotomi. Skor butir 0 dan 1 dikonversi menjadi 1 sedangkan skor butir 2 dan 3 dikonversi menjadi 1. Jenis kelamin ditunjukkan dengan nama sexe, dengan kode 1 dan 2, dengan rincian 1 untuk laki-laki dan 2 untuk perempuan.

2. Melakukan Analisis
Masuklah pada Menu ANALYZE > DESCRIPTIVE STATISTICS > CROSSTABS. Setelah masuk dalam menu ketiga data yang telah dipersiapkan dimasukkan dalam tiga kotak yang telah tersedia. Data kelompok (SEXE) masuk ke dalam kotak Row(s), Skor butir (hd01-hd10) masuk ke dalam kotak Coloumn(s), dan skor total (Total) yang berisi butir yang diuji masuk dalam kotak Layer (Gambar 2).


 
Gambar 2. Menu Analisis pada SPSS

2. Membaca Hasil Analisis
Kita lihat Tabel TEST OF CONDITIONAL INDEPENDENCE yang didalamnya ada hasil uji Mantel-Haenszel (MH). Nilai signifikansi MH yang dibawah 0.05 menunjukkan butir yang diuji terjangkit DIF.
Kita lihat hasil uji MH pada butir 1 (Gambar 3) menunjukkan bahwa butir tersebut terjangkit DIF karena nilai ln(MH)= -0.389 (p<0.05). Hasil yang memiliki arah positif menunjukkan bahwa butir memihak pada karakteristik yang memiliki angka kode lebih besar. Sebaliknya, jika memiliki arah negatif maka butir lebih memihak pada karakteristik angka kode yang lebih kecil.
Pada data kita, laki-laki di kode 1 dan perempuan di kode 2. Dengan demikian butir 1 memihak laki-laki daripada perempuan. Dapat disimpulkan bahwa pada butir 1 laki-laki cenderung mendapatkan skor butir yang tinggi dibanding dengan perempuan.


Gambar 3. Hasil Uji MH untuk Butir 1

Kita lihat pada butir 5, nilai ln(MH) memiliki arah positif yang menunjukkan bahwa pada butir ini perempuan cenderung mendapatkan skor tinggi dibanding dengan laki-laki.



Gambar 4. Hasil Uji MH untuk Butir 5

3. Rangkuman Hasil Analisis
Dari keseluruhan hasil ini dapat kita ketahui bahwa dari 10 butir pengukuran harga diri, ada 8 butir yang terjangkit DIF. 3 butir memihak pria dan 5 butir memihak perempuan (Tabel 1). Meski hasil analisis sedikit tidak konsisten, namun dapat diketahui bahwa butir-butir yang menguntungkan laki-laki lebih banyak berkaitan dengan kemampuan sedangkan butir yang memihak perempuan lebih banyak terkait dengan performansi. Misalnya butir 1 yang mengukur indikator perasaan berharga. Pada butir ini, laki-laki cenderung mengatakan YA dibanding dengan perempuan, meski keduanya memiliki level harga diri yang sama.

Tabel 1. Rangkuman Hasil Analisis
No
Indikator
MH
Sig
DIF
Bias
1
Merasa bahwa diri cukup berharga
-0.39
0.00
*
L
2
Measa banyak hal-hal yang baik dalam diri
-0.48
0.00
*
L
3
Tidak merasa sebagai orang yang gagal.
-0.15
0.16


4
Mampu mengerjakan sesuatu seperti orang lain.
0.30
0.00
*
P
5
Merasa ada yang dibanggakan
0.52
0.00
*
P
6
Menerima keadaan diri saya seperti apa adanya.
-0.42
0.00
*
L
7
Puas dengan kondisi diri
0.38
0.00
*
P
8
Berharap saya dapat lebih dihargai.
0.19
0.44


9
Merasa diri berguna.
0.26
0.03
*
P
10
Merasa bahwa diri saya tidak baik.
0.54
0.00
*
P
Keterangan : *=terjangkit DIF. Bias menunjukkan siapa yang diuntungkan (cenderung mendapatkan skor tinggi). L=Laki-laki dan P=perempuan

Hasil analisis ini menunjukkan bahwa pada butir yang terkait dengan kondisi diri (misalnya merasa cukup berharga, banyak hal-hal yang baik dalam diri), perempuan cenderung mendapatkan skor rendah. Sebaliknya pada butir terkait dengan kemampuan, laki-laki cenderung mendapatkan skor rendah. Butir-butir yang terjangkit DIF ini perlu dievaluasi lebih lanjut agar hasil pengukuran benar-benar memberikan hasil yang akurat.

Referensi



Tidak ada komentar:

Kuliah ATBK - Pengantar CAT